Tahun 2008 saat saya mengunjungi Israel untuk pertama
kalinya, saya mengalami suatu pengalaman spiritual yang sangat membekas sampai
saat ini, yaitu dimana Tuhan memberi saya sebuah visi/mimpi/impian yang lebih
besar dari diri saya sendiri.
Hampir 7 tahun sudah, dan perjalanan menuju penggenapan visi
itu semakin disingkapkan tahap demi tahap. Selama perjalanan ini banyak hal
yang Tuhan nyatakan diluar pemahaman saya sebagai manusia. Saya mengamati
perjalanannya banyak berliku dan berbatu memang. Jalannya terkadang naik dan
sampai ke padang rumput hijau, tetapi terkadang jalannya menurun ke lembah
kekelaman. Ada kalanya saya berlari dengan begitu berapi-api, ada kalanya saya
terjatuh dan menjadi lelah. Tetapi saya bersyukur kepada Tuhan yang setia –
Jesus, my dream maker!
Tahun ini ayat emas yang saya ambil menjadi peneguhan bagi
saya untuk bangkit kembali dan melakukan apa yang Tuhan perintahkan.
Di Alkitab, orang-orang seperti Abram, Musa, Yusuf bin Yakub,
Daud, Gideon, Nehemia, dan masih banyak lagi, yang mendapat visi dari Allah
umumnya adalah orang-orang yang penuh keterbatasan. Tetapi orang-orang ini
meresponi panggilan Tuhan, melewati jalan berliku yang menakutkan dan
menyakitkan selama bertahun-tahun sampai pada akhirnya mereka sampai pada
penggenapan visi itu. Mereka menantang iman mereka untuk
melihat yang belum kelihatan, melangkah dengan berpegang pada janji Tuhan,
mengorbankan dan meninggalkan banyak hal, dan terus menanti-nantikan waktu
Allah.
Apa visi Allah dalam hidupmu? Apa impian yang Tuhan taruh
dalam hatimu?
Setiap kita memiliki impian pribadi, tetapi saya percaya
bahwa impian yang Tuhan beri itu berbeda dari impian pribadi yang timbul dari
hasrat diri sendiri! Apa bedanya?
Dalam saat teduh saya bersama Alkitab dan Roh Kudus pada
akhir Desember 2014, Tuhan menyatakan melalui Alkitab yang saya baca saat itu
mengenai ciri-ciri visi dari Allah dan cara mewujudkannya:
- Visi dari Allah dimulai dengan perjumpaan secara pribadi dengan Allah dan mengenal Allah.
Ini pembeda pertama dengan impian
pribadi. Impian dari Tuhan berasal dari hubungan dengan
Tuhan. Untuk itu kita
perlu memiliki hubungan yang intim dengan Tuhan. Harus ada suatu “perjumpaan”
secara pribadi dengan Tuhan didalam Firman-Nya, doa, dan pernyataan Roh Kudus.
2. Visi dari Allah selalu mengenai kepentingan banyak orang bagi kebaikan mereka.
Visi dari Allah bukan untuk
kepentingan kita untuk membuat kita makin kaya, makin terkenal, makin tinggi.
Semata-mata untuk kepentingan banyak orang. Kita bisa menguji poin 2 ini
terhadap impian kita. Tuhan tidak tertarik memakai kita
supaya kita menjadi kaya dan populer, tetapi supaya kita bisa melayani lebih
banyak orang dengan lebih baik lagi!
Tuhan menghadirkan visi-Nya kepada
kita untuk kebutuhan orang lain pada saat ini atau yang akan datang. Visi dari
Allah hadir untuk menjawab permasalahan mereka dan menolong mereka menemukan
jalan keluar.
Umumnya respon dari orang yang
menerima Visi dari Allah adalah merasa bahwa visi itu terlalu besar dari
dirinya. Ya itu benar sekali. Karena Allah itu besar, maka
Impian dari Allah yang dititipkan kepada kita bukan impian kecil-kecilan. Meskipun impian itu kelihatan begitu
besar, tetapi Tuhan yang lebih besar dari impian itu, akan memampukan
anak-anak-Nya untuk mencapai impian tersebut.
Goal atau tujuan dari impian dari Allah
untuk kemuliaan nama Tuhan. Uji impian kita, apakah impian kita memuliakan
Allah atau diri kita? Karena impian itu berasal dari Allah, impian itu haruslah
tentang Allah dan memuliakan Dia. Jika impian itu
untuk kemuliaan diri kita, maka impian itu adalah impian manusia yang lahir
dari keangkuhan hidup semata.
Kita membutuhkan partner yang
mendukung kita mencapai visi, karena itu kita perlu membagikannya kepada
orang-orang yang tepat. Mereka haruslah orang-orang yang
mengasihi Tuhan, dibakar oleh gairah akan Tuhan, memiliki kerendahan hati, dan
memiliki impian dari Allah juga. Membagikan impian kita kepada orang yang tepat akan meneguhkan kita
saat kita dalam keadaan lemah. Sebaliknya, membagikan impian kita kepada orang
yang tidak tepat, akan melemahkan kita dan memadamkan api yang kita miliki.
Seperti 10 Pengintai pada zaman Musa melemahkan semangat bangsa Israel akan
negeri impian yang Tuhan janjikan pada merekam atau seperti kakak-kakak Yusuf
yang mencela mimpi yang Tuhan taruh di hatinya.
Bukan berarti karena impian itu dari
Tuhan maka jalan kita mulus dan semuanya menjadi mudah. Tuhan
tidak pernah menawarkan kita hidup yang mudah, melainkan hidup seorang pemenang
yang dibentuk dari mengatasi berbagai kesulitan, tantangan dan menang atas
semua proses dan ujian iman yang Tuhan izinkan kita alami. Dalam menghadapi segala bentuk
tantangan itulah Tuhan menyatakan penyertaan-Nya, berkat-Nya, mujizat-Nya,
perlindungan-Nya, rahmat-Nya, tuntunan-Nya sehingga kita keluar sebagai
pemenang. Yang penting, JANGAN PERNAH MENYERAH!
Tuhan
senang menyatakan kebesaran-Nya melalui hal kecil dan keterbatasan yang kita
miliki. Karena itu kita
tidak boleh kecil hati dengan keterbatasan kita saat ini. Justru melalui
kelemahanlah kuasa-Nya menjadi sempurna. Tuhan memakai Abram yang sudah mati
pucuk untuk menghasilkan bangsa yang besar. Kita harus memulainya melalui apa
yang kita miliki saat ini, dengan setia mengembangkannya, dan Tuhan yang akan
memberi pertumbuhan!
Simson nyaris gagal mencapai impian
yang Tuhan beri dalam hidupnya, jika saja ia tidak mau bertobat. Beruntung ia
bertobat dan menggenapi target Tuhan dalam hidupnya sekalipun sedikit berakhir
tragis. Jika tidak berhati-hati, kita riskan untuk gagal dalam mencapai impian
yang Tuhan beri. Bukankah musuh mengintai setiap saat untuk menggagalkan kita
dengan segala macam daya dan upaya? Karena itu kita perlu
terus melekat pada Tuhan dan berpegang pada-Nya setiap hari, setiap saat,
melewati step by step setiap anak
tangga proses kehidupan untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi.
Saya bersyukur bahwa Tuhan tidak
membiarkan kita berjalan sendiri. Selain Roh Kudus-Nya yang selalu beserta
kita, Tuhan juga mengirim bala bantuan dari hamba-hamba-Nya untuk menolong dan
mempersiapkan kita. Beberapa diantaranya mungkin adalah orang rohani, beberapa
lagi adalah orang sekuler. Sebagian diantaranya menyenangkan kita, sebagian
lagi memperlengkapi kita dengan cara-cara yang mungkin kurang kita sukai. Tetapi
apapun itu, pada akhirnya kita akan menyadari bahwa Tuhan menaruh orang-orang
di dalam hidup kita bukan secara kebetulan tetapi untuk menghentar kita menuju
kepada rancangan yang telah Tuhan persiapkan.
Semua hal dalam hidup ini memiliki
harga, dan untuk memilikinya atau mendapatkannya ada harga yang harus dibayar.
Kalaupun kita memperoleh keselamatan secara gratis dengan iman, itu karena
Tuhan Yesus Kristus telah membayar harga yang sangat mahal dengan darah-Nya di
kayu salib untuk menebus kita dari segala dosa. Abram harus meninggalkan rumah
bapanya, Yusuf harus membayar harga ketaatannya, Nehemia harus meninggalkan
posisinya yang nyaman. Impian dari Tuhan menuntut harga
mahal yang harus berani kita bayar, tetapi semua itu takkan sebanding dengan
mahkota yang Tuhan sediakan. Harga mahal yang harus dibayar itu adalah
penyangkalan daging kita terhadap dosa, mengorbankan air mata dan perasaan demi
sebuah ketaatan, membayar berpuluh-puluh atau beratus-ratus jam atau
bertahun-tahun di dalam ketekunan dan kesetiaan kita, harta dan tenaga yang
harus dicurahkan, dan masih banyak lagi.
Jika kita tidak melakukannya
sekarang, kita terjebak dalam penundaan. Penundaan adalah
pencuri yang sangat berbahaya, yang dapat merampas bertahun-tahun kehidupan
kita tanpa melakukan sesuatu yang berarti dan membawa kita ke jurang penyesalan. Joyce Meyer berkata penundaan
adalah musuh dan sangat menipu. Seorang bijak pun berkata, “Jika kita terus
menanti waktu yang tepat untuk melakukan segala sesuatu, pada akhirnya kita
tidak akan melakukan apa-apa.”
Saya berdoa, tahun ini akan menjadi tahun penggenapan impian
Tuhan dalam hidup saya dan saudara. Amin!
“Faithful is He Who is calling
you [to Himself] and utterly trustworthy, and He will
also do it [fulfill
His call by hallowing and keeping you].” (1 Tess 5:24 – AMP)
“Itulah sebabnya aku
menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena
aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa
yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan.” (2 Tim
1:14)
RL, Maret 2015